Autobiografi Nazla
Bandung, 29 Juni 2002, seorang "Putri Jiwa", kata mama, lahir ke dunia ini, dan ke dunia mereka, keluarga tercintaku. Pesona bunga bermata indah, sebuah doa yang dipilih orang tuaku, Silva dan Ade, untukku didalam nama yang mereka berikan. Charisma Nazla Azzahra Alvaran, doa mereka selalu menyertaiku dari langkah pertama di tangan mereka sampai langkah terakhirku nanti di belahan dunia yang masih menjadi misteri. Aku dibimbing seorang kakak laki-laki, Alfath yang dulu dipanggil Fatih. Dia yang mengajarkaku mengucap huruf "r", mengajarkanku menjadi anak yang sopan, menuntun dan menemaniku saat aku jatuh. Setiap waktu yang ku buang bersamanya mungkin terlihat bodoh dimata orang lain, tapi itu yang membuatku ceria. "Baby Asha" menjadi "Cookies" dan sekarang menjadi Uquito, Kito, atau Kikit, begitu keluargaku menyapaku, kadang aku dipanggil Ka Ka Asha atau Ka Acha. Begitu banyak nama yang mewakili diri ini, namun yang paling terngiang adalah panggilan dari mama, "Matahari Jiwa". Katanya aku menghangatkan, selalu ceria di setiap suasana, tapi panasnya juga bisa membakar, cukup mewakili kepribadiaku :))))
Aku mulai jenjang sekolah pertamaku di Bumilimas, sebuah playgroup yang mengajarkanku tentang kebebasan berseni. Alam yang kita lihat, kita dengar, kita rasa dan bayangkan, itulah seni murni yang akan kita tumpahkan ke dalam selembar kertas, sampai ke ruang seluas dunia, itu yang aku tangkap dari setiap menit pelajaran di sana. Dibimbing Ka Ibey dan Ka Aep, aku bersatu dengan alam dan seni. Aku teruskan di TK Mutiara Bunda dan SD Mutiara Bunda. Banyak yang aku pelajari dari dua tempat itu. Tentang cara menghargai orang lain, untuk tidak melihat hanya sisi buruk mereka, tapi pentingkan sisi baiknya. Aku belajar tentang sahabat, tentang yang datang lalu pergi, dan tentang bahu yang selalu ada. Selanjutnya SMP Taruna Bakti, mengajarkanku tentang dunia yang luas, untuk tidak menjadi egois, dan tentang kunci agar tidak kesepian, yaitu menjadi diri sendiri. Dan yang sekarang kududuki, kelas 11 di SMA Taruna Bakti. Belum banyak yang aku pelajari, namun yang paling penting adalah untuk tidak bergantung pada orang lain, karena aku punya aku, dan begitu selamanya.
Nilai-nilai akademisku sejak SD sangat stabil, namun menurun saat SMA :) Di SMP, aku mengikuti program akselesrasi yang berarti percepatan. Aku hanya menjalani 2 tahun di SMP. Karakteristik teman-teman akselku membuatku berani menjadi diri sendiri. Banyak yang bertanya, "susah ga sih jadi aksel? belajarnya gimana?" jadi aksel itu menurut aku ga susah, waktunya aja yang dicepetin, materinya sama aja. Lalu SMA aku mengikuti program bilingual, berarti belajar menggunakan 2 bahasa yaitu Indonesia dan Inggris. Namun diluar sekolah, aku juga belajar bahasa lain seperti Russia dan Spanyol. Otak kanan dan kiriku seimbang karena aku mengikuti lomba-lomba selain akademis, misalnya seni musik, lukis, rupa, sampai olahraga. Aku menjadi juara 2 lomba tennis dan juara 1 lomba berenang saat umurku 10 dan 12 tahun. Aku bermain piano klasik, belajar menggambar, dan membuat karya dari tanah liat bersama guru tersayangku, Ka Ibey. Aku mengikuti grup paduan suara SD Mutiara Bunda, MB Choir, aku cukup bangga menjadi bagian dari angkatan pertamanya. Banyak lomba yang kami ikuti, dan hampir semuanya kami menangi. Tapi tak peduli kalah atau menang, guru kami, Pa Idham dan Pa Ricky selalu berpesan bahwa kita berada di posisi ini bersama-sama, kita berjuang bersama, ini hasil yang kita dapat, berkat latihan dan doa kita dengan pendukung kita, jangan mengejar hasil sempurna, kejarlah cara kita menyampaikan pesan dan emosi lewat seni suara yang kita sampaikan dengan hati, "bawa asik aja" hehe itu kata mereka. Dan sampai sekarang, pesan mereka selalu ku ingat.
Aku ingin menjadi designer baju, interior, dan arsitek. Sekarang rencanaku untuk meneruskan jenjang berikutnya ke Arsitektur UNPAR. Teman-temanku di arsitektur semoga bisa membantuku mewujudkan keinginanku untuk masuk ke sana.
Dari kecil, aku sudah bermain dengan alam dan menumpahkannya ke dalam seni, sampai sekarang aku menumpahkan diriku ke dalam setiap seni, sampai seni menjadi bagian dari diriku. Hobiku saat kecil adalah bermain piano, walau masih pencet-pencet, tidak adanya paksaan dan penghakiman dari keluarga membuatku menikmati setiap nada tak teratur itu. Aku belajar akan menikmati hal sekecil apapun, karena mungkin, hal kecil itulah yang menyelamatkan kita. Selain bermain piano, aku menggambar dan membuat karya dari tanah liat. Ka Ibey begitu sabar membimbingku berkarya, walau aku moody hehe. Aku juga senang menulis, aku membuat cerita tentang apapun yang ada dipikiranku, kalau sekarang dibaca, pasti geli. Beranjak besar, aku meneruskan latihan piano, namun jiwaku memanggil nada yang bebas, disitu aku bertemu jazz. Karena satu faktor yang membuatku mengkritik tentang kebebasan di dunia dan duniaku, aku mencari-cari pelampiasan isi hati. Aku bertemu jazz dan sastra. Dengan jazz, aku menemukan tenang, aku dibawa hanyut oleh rangkaian nada-nadanya, aku bahkan mengajak jariku menari di atas piano, merangkai nada baru unutk ku nikmati. Telah lama aku melupakan sastra, lalu satu momen istimewa membawaku kembali pada sastra. Sastra mengajarkanku tentang tinta tumpah yang bisa kita ukir kembali menjadi kata pahit namun manis dilihat. Banyak yang kupelajari dari bahasa, dari sastra. Aku lalu bertemu seseorang yang mengajarkanku bahwa bahasa yang abadi tidak dapat dilihat, disentuh, namun dirasa. Mulai saat itu aku lebih mementingkan rasa yang aku tumpahkan kedalam seni daripada gengsi. Inti dari hobi-hobiku, ada diriku di dalam seni.
Dari setiap langkah di setiap ruang dan waktu, aku kembali lagi pada pencipta seni. Pesan mama dan keluargaku, jangan lupakan Dia, kamu mengerti seni dan rasa karena-Nya, biarkan Dia hadir dalam setiap langkahmu, jadi orang yang bermanfaat, jadi dirimu sendiri, jangan lupakan Dia. Dan aku yakin, doa mereka akan menyertaiku di dalam setiap keputusan yang akan kuambil di depan nanti.
Aku mulai jenjang sekolah pertamaku di Bumilimas, sebuah playgroup yang mengajarkanku tentang kebebasan berseni. Alam yang kita lihat, kita dengar, kita rasa dan bayangkan, itulah seni murni yang akan kita tumpahkan ke dalam selembar kertas, sampai ke ruang seluas dunia, itu yang aku tangkap dari setiap menit pelajaran di sana. Dibimbing Ka Ibey dan Ka Aep, aku bersatu dengan alam dan seni. Aku teruskan di TK Mutiara Bunda dan SD Mutiara Bunda. Banyak yang aku pelajari dari dua tempat itu. Tentang cara menghargai orang lain, untuk tidak melihat hanya sisi buruk mereka, tapi pentingkan sisi baiknya. Aku belajar tentang sahabat, tentang yang datang lalu pergi, dan tentang bahu yang selalu ada. Selanjutnya SMP Taruna Bakti, mengajarkanku tentang dunia yang luas, untuk tidak menjadi egois, dan tentang kunci agar tidak kesepian, yaitu menjadi diri sendiri. Dan yang sekarang kududuki, kelas 11 di SMA Taruna Bakti. Belum banyak yang aku pelajari, namun yang paling penting adalah untuk tidak bergantung pada orang lain, karena aku punya aku, dan begitu selamanya.
Nilai-nilai akademisku sejak SD sangat stabil, namun menurun saat SMA :) Di SMP, aku mengikuti program akselesrasi yang berarti percepatan. Aku hanya menjalani 2 tahun di SMP. Karakteristik teman-teman akselku membuatku berani menjadi diri sendiri. Banyak yang bertanya, "susah ga sih jadi aksel? belajarnya gimana?" jadi aksel itu menurut aku ga susah, waktunya aja yang dicepetin, materinya sama aja. Lalu SMA aku mengikuti program bilingual, berarti belajar menggunakan 2 bahasa yaitu Indonesia dan Inggris. Namun diluar sekolah, aku juga belajar bahasa lain seperti Russia dan Spanyol. Otak kanan dan kiriku seimbang karena aku mengikuti lomba-lomba selain akademis, misalnya seni musik, lukis, rupa, sampai olahraga. Aku menjadi juara 2 lomba tennis dan juara 1 lomba berenang saat umurku 10 dan 12 tahun. Aku bermain piano klasik, belajar menggambar, dan membuat karya dari tanah liat bersama guru tersayangku, Ka Ibey. Aku mengikuti grup paduan suara SD Mutiara Bunda, MB Choir, aku cukup bangga menjadi bagian dari angkatan pertamanya. Banyak lomba yang kami ikuti, dan hampir semuanya kami menangi. Tapi tak peduli kalah atau menang, guru kami, Pa Idham dan Pa Ricky selalu berpesan bahwa kita berada di posisi ini bersama-sama, kita berjuang bersama, ini hasil yang kita dapat, berkat latihan dan doa kita dengan pendukung kita, jangan mengejar hasil sempurna, kejarlah cara kita menyampaikan pesan dan emosi lewat seni suara yang kita sampaikan dengan hati, "bawa asik aja" hehe itu kata mereka. Dan sampai sekarang, pesan mereka selalu ku ingat.
Aku ingin menjadi designer baju, interior, dan arsitek. Sekarang rencanaku untuk meneruskan jenjang berikutnya ke Arsitektur UNPAR. Teman-temanku di arsitektur semoga bisa membantuku mewujudkan keinginanku untuk masuk ke sana.
Dari kecil, aku sudah bermain dengan alam dan menumpahkannya ke dalam seni, sampai sekarang aku menumpahkan diriku ke dalam setiap seni, sampai seni menjadi bagian dari diriku. Hobiku saat kecil adalah bermain piano, walau masih pencet-pencet, tidak adanya paksaan dan penghakiman dari keluarga membuatku menikmati setiap nada tak teratur itu. Aku belajar akan menikmati hal sekecil apapun, karena mungkin, hal kecil itulah yang menyelamatkan kita. Selain bermain piano, aku menggambar dan membuat karya dari tanah liat. Ka Ibey begitu sabar membimbingku berkarya, walau aku moody hehe. Aku juga senang menulis, aku membuat cerita tentang apapun yang ada dipikiranku, kalau sekarang dibaca, pasti geli. Beranjak besar, aku meneruskan latihan piano, namun jiwaku memanggil nada yang bebas, disitu aku bertemu jazz. Karena satu faktor yang membuatku mengkritik tentang kebebasan di dunia dan duniaku, aku mencari-cari pelampiasan isi hati. Aku bertemu jazz dan sastra. Dengan jazz, aku menemukan tenang, aku dibawa hanyut oleh rangkaian nada-nadanya, aku bahkan mengajak jariku menari di atas piano, merangkai nada baru unutk ku nikmati. Telah lama aku melupakan sastra, lalu satu momen istimewa membawaku kembali pada sastra. Sastra mengajarkanku tentang tinta tumpah yang bisa kita ukir kembali menjadi kata pahit namun manis dilihat. Banyak yang kupelajari dari bahasa, dari sastra. Aku lalu bertemu seseorang yang mengajarkanku bahwa bahasa yang abadi tidak dapat dilihat, disentuh, namun dirasa. Mulai saat itu aku lebih mementingkan rasa yang aku tumpahkan kedalam seni daripada gengsi. Inti dari hobi-hobiku, ada diriku di dalam seni.
Dari setiap langkah di setiap ruang dan waktu, aku kembali lagi pada pencipta seni. Pesan mama dan keluargaku, jangan lupakan Dia, kamu mengerti seni dan rasa karena-Nya, biarkan Dia hadir dalam setiap langkahmu, jadi orang yang bermanfaat, jadi dirimu sendiri, jangan lupakan Dia. Dan aku yakin, doa mereka akan menyertaiku di dalam setiap keputusan yang akan kuambil di depan nanti.
No comments:
Post a Comment